"Makkiyah Dan Madaniyyah"
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Makkiyyah dan Madaniyyah
Para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif
dalam mendefinisikan terminologi Makkiyyah dan Madaniyyah. Keempat perspektif
itu adalah: Masa turun (zaman an-nuzul), tempat turun (makan an-nuzul),
objek pembicaraan (mukhathab) dan tema pembicaraan (maudu’).[1]
Dari perspektif
masa turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut :
Artinya :
“Makkiyyah
ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun
bukan turun di Mekkah, sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah
Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang
turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyah walaupun turun di Mekah atau
arafah.”[2]
Dengan
demikian, surat An-Nisa' [4] : 58[3]
termasuk kategori Madaniyyah kendatipun diturunkan di Mekah, yaitu pada
peristiwa terbukanya kota Mekah (fath makkah). Begitu pula, surat Al-Ma'idah
[5] : 3[4]
termasuk kategori Madaniyyah kendatipun tidak diturunkan di Madinah karena ayat
itu diturunkan pada peristiwa haji wada'.[5]
Dari perspektif
tempat turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut:
Artinya :
“Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun di Mekah dan
sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah, sedangkan Madaniyah adalah
ayat-ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba’, dan
Sul’a.”[6]
Terdapat celah kelemahan dari pendefinisian di atas
sebab terdapat ayat-ayat tertentu, yang tidak diturunkan di Mekah dan di Madinah
dan sekitarnya. Misalnya surat At-Taubah [9] : 42[7]
diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf [43] : 45[8]
diturunkan di tengah perjalanan antara Mekah dan Madinah. Kedua ayat tersebut, jika
melihat definisi kedua, tidak dapat dikategorikan ke dalam Makiyyah dan Madaniyyah.
Dari perspektif
objek pembicaraan, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai
berikut :
Artinya :
“Makkiyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi
orang-orang Mekah. Sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab
bagi orang-orang Madinah.”[9]
Pendefinisian di
atas dirumuskan para sarjana muslim berdasarkan asumsi bahwa kebanyakan ayat Al-Qur’an
dimulai dengan ungkapan “ya ayyuha an-naas” yang menjadi kriteria
Makiyyah, dan ungkapan “ya ayyuha al-ladziina” yang menjadi kriteria
Madaniyyah. Namun, tidak selamanya asumsi ini benar. Surat Al-Baqarah [2],
misalnya, termasuk kategori Madaniyyah, padahal di dalamnya terdapat salah satu
ayat, yaitu ayat 21[10]
dan ayat 168[11], yang
dimulai dengan ungkapan ‘ya ayyuha an-naas". Lagi pula, banyak ayat
Al-Qur’an yang tidak dimulai dengan dua ungkapan di atas.
Adapun pendefinisian Makkiyyah dan Madaniyyah dari
perspektif tema pembicaraan akan disinggung lebih terinci dalam uraian
karakteristik kedua klasifikasi tersebut.
Kendatipun
mengunggulkan pendefinisian Makkiyyah dan Madaniyyah dari perspektif masa turun,
Subhi Shalih melihat komponen-komponen serupa dalam tiga pendefinisian. Pada
ketiga versi itu terkandung komponen masa tempat dan orang.[12]
Bukti lebih lanjut dari tesis Shalih diatas bisa dilihat dalam kasus surat Al-Mumtahanah
[60]. Bila dilihat dari perspektif tempat turun, surat itu termasuk Madaniyyah
karena diturunkan sesudah peristiwa hijrah. Akan tetapi, dalam perspektif objek
pembicaraan, surat itu termasuk Makkiyyah karena menjadi khitab bagi
orang-orang Mekah. Oleh karena itu, para sarjana muslim memasukkan surat itu ke
dalam “Ma nuzila bi Al-Madinah wa hukmuhu Makki” (ayat-ayat yang
diturunkan di Madinah, sedangkan hukumnya termasuk ayat-ayat yang diturunkan di
Mekah).[13]
B.
Cara-Cara Mengetahui Makkiyyah dan Madaniyyah
Dalam menetapkan
mana ayat-ayat Al-Qur’an yang termasuk kategori Makkiyyah dan Madaniyyah, para
sarjana muslim berpegang teguh pada dua perangkat pendekatan.[14]
1.
Pendekatan Transmisi (Periwayatan)
Dengan perangkat pendekatan transmisi, para sarjana
muslim merujuk kepada riwayat-riwayat valid yang berasal dari para sahabat,
yaitu orang-orang yang besar kemungkinan menyaksikan turunnya wahyu, atau para generasi
tabi’in yang saling berjumpa dan mendengar langsung dari para sahabat tentang
aspek-aspek yang berkaitan dengan proses kewahyuan Al-Qur’an, termasuk di dalamnya
adalah informasi kronologis Al-Qur’an.
Dalam kitab Al-Intishár, Abu Bakar bin Al-Baqilani
lebih lanjut menjelaskan :
“Pengetahuan tentang Makkiyyah dan Madaniyyah hanya
bisa dilacak pada otoritas sahabat dan tabi’in saja. Informasi itu tidak ada
yang datang dari Rasulullah SAW karena memang ilmunya tentang itu bukan
merupakan kewajiban umat.”[15]
Seperti halnya hadis-hadis Nabi telah terekam dalam kodifikasi-kodifikasi
kitab hadis, para sarjana muslim pun telah merekam informasi dari para sahabat
dan tabi’in tentang Makkiyyah dan Madaniyyah dalam kitab-kitab tafsir bi Al-matsur,
tulisan-tulisan tentang asbab An-Nuzul, pembahasan-pembahasan ilmu-ilmu Al-Qur’an,
dan jenis-jenis tulisan lainnya.
Otoritas para
sahabat dan para tabi’in dalam mengetahui informasi kronologi Al-Qur’an dapat
dilihat dari statemen-statemennya. Dalam salah satu riwayat Al-Bukhari, Ibn Mas'ud berkata :
Artinya :
“Demi zat tang tidak ada tuhan selainnya, tidak ada
satupun dari kitab Allah yang turun, kecuali aku tahu untuk siapa dan di mana
diturunkan. Seandainya aku tahu tempat orang yang lebih paham dariku tentang
kitab Allah, pasti aku akan menjumpainya.”[16]
Dalam riwayat lain disebut bahwa Ibn Abbas berkata,
ketika ditanya oleh Ubai bin Ka'ab mengenai ayat yang diturunkan di Madinah, Terdapat
dua puluh surat yang diturunkan di Madinah, sedangkan jumlah surat sisanya di Mekah.[17]
As-Suyuthi menyediakan beberapa lembar dalam kitab Al-‘Itqan-nya
untuk merekam riwayat-riwayat dari
sahabat dan tabi’in mengenai perangkat periwayatan dalam mengetahui kronologis
Al-Qur’an.[18]
2.
Pendekatan Analogi (Qiyas)
Ketika melakukan
kategorisasi Makkiyyah dan Madaniyyah, para sarjana muslim penganut
pendekatan analogi bertolak dari ciri-ciri spesifik dari kedua klasifikasi
itu. Dengan demikian, bila dalam surat Makkiyyah terdapat sebuah ayat
yang memiliki ciri-ciri khusus Madaniyyah, ayat ini termasuk kategori ayat
Madaniyyah. Tentu saja, para ulama telah menetapkan tema-tema sentral yang
ditetapkan pula sebagai ciri-ciri khusus bagi kedua klasifikasi itu.
Misalnya mereka menetapkan tema kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu
sebagai ciri khusus Makkiyyah, tema faraid dan ketentuan had sebagai
ciri khusus Madaniyyah.[19]
C.
Ciri-Ciri Spesifik Makkiyyah dan Madaniyyah
Seperti telah
diuraikan di atas, para sarjana muslim telah berusaha merumuskan ciri-ciri
spesifik Makkiyyah dan Madaniyyah dalam menguraikan kronologis Al-Qur’an.
Mereka mengajukan dua titik tekan dalam usahanya itu, yaitu titik tekan analogi
dan titik tekan tematis.
Dari titik tekan
analogi, mereka memformulasikan ciri-ciri khusus Makkiyyah dan Madaniyyah
sebagai berikut :
1.
Makkiyyah :
a. Di dalamnya terdapat ayat sajdah;
b. Ayat-ayatnya dimulai dengan kata “kalla”;
c. Dimulai dengan ungkapan “ya ayyuha an-naas” dan
tidak ada ayat yang dimulai dengan ungkapan “ya ayyuha Al-ladzina”,
kecuali dalam surat Al-Hajj [22], karena di penghujung surat itu terdapat
sebuah ayat yang dimulai dengan ungkapan “ya ayyuha Al-ladzina”;
d. Ayat-ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan
umat-umat terdahulu;
e. Ayat-ayatnya berbicara tentang kisah Nabi Adam dan iblis,
kecuali surat Al-Baqarah [2];
dan
f. Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf-huruf
terpotong-potong (huruf at-tahajji) seperti “alif lam mim” dan
sebagainya, kecuali surat Al-Baqarah [2] dan Ali ‘lmran [3].[20]
2.
Madaniyyah :
a. Mengandung ketentuan-ketentuan faraid dan had;
b. Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum munafik,
kecuali surat Al-Ankabut
[29]; dan
c.
Mengandung uraian tentang perdebatan dengan Ahli Kitabin.[21]
Berdasarkan titik tekan tematis, para ulama merumuskan
ciri-ciri spesifik Makkiyah dan Madaniyyah sebagai berikut :
1. Makkiyyah :
a. Menjelaskan ajakan monotheisme, ibadah kepada Allah
semata, penetapan risalah kenabian, penetapan hari kebangkitan dan pembalasan,
uraian tentang Kiamat dan perihalnya, neraka dan siksanya, surga dan
kenikmatannya, dan mendebat kelompok musyrikin dengan argumentasi-argumentasi
rasional dan naqli;
b. Menetapkan fondasi-fondasi umum bagi pembentukan hukum
syara' dan keutamaan-keutamaan akhlak yang harus dimiliki anggota masyarakat.
Juga berisikan celaan-celaan terhadap kriminalitas-kriminalitas yang dilakukan
kelompok musyrikin, mengonsumsi harta anak yatim secara zalim serta uraian
tentang hak-hak;
c. Menuturkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu
serta perjuangan Muhammad dalam menghadapi tantangan-tantangan kelompok
musyrikin;
d. Ayat dan suratnya pendek-pendek dan nada serta perkataannya
agak keras; dan
e. Banyak mengandung kata-kata sumpah.
2.
Madaniyyah :
a. Menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, hudud,
bangunan rumah tangga, warisan, keutamaan jihad, kehidupan sosial,
aturan-aturan pemerintah, menangani perdamaian dan peperangan, serta persoalan-persoalan
pembentukan hukum syara';
b. Mengkhitabi Ahli Kitab Yahudi dan Nashrani dan
mengajaknya masuk lslam, juga menguraikan perbuatan mereka yang telah
menyimpangkan Kitab Allah dan menjauhi kebenaran serta perselisihannya
setelah datang kebenaran;
c. Mengungkap langkah-langkah orang-orang munafik;
d.
Surat dan sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang serta menjelaskan hukum
dengan terang dan menggunakan ushlub yang terang pula.[22]
Ciri-ciri spesifik yang dimiliki Madaniyyah, baik
dilihat dari perspektif analogi ataupun tematis, memperlihatkan langkah-langkah
yang ditempuh lslam dalam mensyariatkan peraturan-peraturannya, yaitu dengan
cara periodik (hierarkis/tadarruj).
Laporan-laporan
sejarah telah membuktikan adanya sistem sosiokultural yang berbeda antara Mekah
dan Madinah. Mekah dihuni komunitas atheis yang keras kepala dengan aksinya
yang selalu menghalangi dakwah Nabi dan para sahabatnya, sedangkan di Madinah setelah
Nabi hijrah kesana, terdapat tiga komunitas. Komunitas muslim yang terdiri dari
kelompok Muhajirin dan Anshar, komunitas munafik, dan komunitas Yahudi. Al-Qur’an
menyadari benar perbedaan sosio-kultural antara kedua tempat itu. Oleh karena
itu, alur pembicaraan ayat yang diturunkan bagi penghuni Mekah sangat berbeda
dengan alur yang diturunkan bagi penduduk Madinah.
D.
Klasifikasi Ayat-Ayat dan Surat-Surat Al-Qur’an
Menurut edisi standar Mesir, 86 surat termasuk dalam
periode Mekah, sementara 28 surat lainnya berasal dari periode Madinah. Dasar
dari determinasi kronologis ini adalah permulaan surat. Sebuah surat, misalnya,
dianggap dari Mekah jika ayat-ayat awalnya diturunkan di Mekah, meskipun berisi
juga ayat-ayat yang diturunkan di Madinah. Terkadang, ada juga perbedaan
pendapat di kalangan kaum muslimin mengenai apakah surat ini termasuk Makkiyyah
dan Madaniyyah. Tidaklah mengejutkan jika prinsip klasifikasi yang diterapkan
kaum muslimin menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Perbedaan kesimpulan ini
lebih banyak ditemukan jika dibandingkan dengan yang disimpulkan oleh para
sarjana Barat.
Dalam pandangan para sarjana muslim, pijakan pertama
untuk mengklasifikasikan bagian ayat-ayat Al-Qur’an adalah hadis dan pernyataan-pernyataan
para mufassir belakangan. Meskipun tampak memberi perhatian pada bukti-bukti
internal, para sarjana muslim yang mula-mula jarang menggunakannya secara eksplisit
dalam argumentasi-argumentasinya. Hadis-hadis yang dipermasalahkan di sini biasanya
kurang lebih bermakna bahwa suatu bagian Al-Qur’an tertentu diwahyukan
sehubungan dengan peristiwa tertentu. Jadi, surat 'Abasa [80] : 1-10[23]
dikatakan diwahyukan ketika seorang buta bernama Abdullah bin Umm Maktum
menemui Muhammad tatkala beliau tengah berbincang-bincang dengan beberapa
pembesar Quraisy yang diharapkan dapat membujuknya.[24]
Sebuah contoh tentang susunan kronologi revelasi
(pewahyuan) Al-Qur’an yang ditulis seorang sarjana klasik, bisa disebutkan di
sini, dari lbn Nazhim dalam Al-Fihrits yang memiliki klasifikasi penentuan
surat-surat Makkiyyah dari Nu'man lbn Bashir :
No.
|
Nama Surat
|
No.
|
Nama Surat
|
1.
|
Surat Al-‘Alaq [96]
|
36.
|
Surat Al-Furqan [25]
|
2.
|
Surat Al-Qalam [68]
|
37.
|
Surat Fathir [35]
|
3.
|
Surat Al-Muzammil [73]
|
38.
|
Surat Maryam [19]
|
4.
|
Surat Al-Mudatstsir [74]
|
39.
|
Surat Thaha [20]
|
5.
|
Surat Al-Lahab [111]
|
40.
|
Surat Al-Waqi’ah [56]
|
6.
|
Surat At-Takwir [81]
|
41.
|
Surat Asy-Syu’ara [26]
|
7.
|
Surat Al-Insyirah [94]
|
42.
|
Surat An-Nam [27]
|
8.
|
Surat Al-‘Ash [103]
|
43.
|
Surat Al-Isra’ [17]
|
9.
|
Surat Al-Fajr [89]
|
44.
|
Surat Hud [11]
|
10.
|
Surat Ad-Dhuha [93]
|
45.
|
Surat Ar-Ra’d [13]
|
11.
|
Surat Al-Lail [92]
|
46.
|
Surat Yunus [10]
|
12.
|
Surat Al-‘Adiyah [100]
|
47.
|
Surat Al-Hijr [15]
|
13.
|
Surat Al-Kautsar [108]
|
48.
|
Surat Ash-Shaffat [37]
|
14.
|
Surat At-Takwir [102]
|
49.
|
Surat Luqman [31]
|
15.
|
Surat Al-Ma’un [107]
|
50.
|
Surat Al-Mu’minun [23]
|
16.
|
Surat Al-Kafirun [109]
|
51.
|
Surat Saba’ [34]
|
17.
|
Surat Al-Fil [105]
|
52.
|
Surat Al-Anbiya’ [21]
|
18.
|
Surat Al-Ikhlas [112]
|
53.
|
Surat Az-Zumar [39]
|
19.
|
Surat Al-Falaq [113]
|
54.
|
Surat Al-Mu’min [40]
|
20.
|
Surat An-Nas [114]
|
55.
|
Surat Fushshilat [41]
|
21.
|
Surat An-Najm [53]
|
56.
|
Surat Muhammad [47]
|
22.
|
Surat ‘Abasa [80]
|
57.
|
Surat Az-Zukhruf [43]
|
23.
|
Surat Al-Qadar [97]
|
58.
|
Surat Ad-Dukhan [44]
|
24.
|
Surat Ath-Thariq [85]
|
59.
|
Surat Al-Jatsiyyah [45]
|
25.
|
Surat Ath-Thin [95]
|
60.
|
Surat Al-Ahqaf [46]
|
26.
|
Surat Al-Quraisy [106]
|
61.
|
Surat Adz-Dzariyyat [51]
|
27.
|
Surat Al-Qari’ah [101]
|
62.
|
Surat Al-Ghasyiyah [88]
|
28.
|
Surat Al-Qiyamah [75]
|
63.
|
Surat Al-Kahfi [81]
|
29.
|
Surat Al-Humazah [104]
|
64.
|
Surat Al-An’am [6]
|
30.
|
Surat Al-Mursalat [77]
|
65.
|
Surat An-Nahl [16]
|
31.
|
Surat Al-Balad [90]
|
66.
|
Surat Nuh [71]
|
32.
|
Surat Ar-Rahman [55]
|
67.
|
Surat Ibrahim [14]
|
33.
|
Surat Al-Jin [72]
|
68.
|
Surat As-Sajdah [32]
|
34.
|
Surat Yaa Siin [36]
|
69.
|
Surat Ath-Thur [52]
|
35.
|
Surat Al-A’raf [7]
|
70.
|
Surat Al-Mulk [67]
|
71.
|
Surat Al-Haqqah [69]
|
77.
|
Surat Ar-Rum [30]
|
72.
|
Surat Al-Ma’arij [70]
|
78.
|
Surat Al-Ankabut [29]
|
73.
|
Surat An-Naba’ [78]
|
79.
|
Surat Al-Muthaffifin [83]
|
74.
|
Surat An-Nazi’at [79]
|
80.
|
Surat Al-Qamar [54]
|
75.
|
Surat Al-Infithar [82]
|
81.
|
Surat Ath-Thariq [86]
|
76.
|
Surat Al-Insyiqaq [84]
|
Para sarjana muslim pun sepakat bahwa ayat-ayat yang
diturunkan di Madinah bisa saja merupakan bagian dari surat yang dirancang
sebagai surat Makkiyyah (menurut prinsip permulaan di atas), atau sebaliknya.[25]
Contoh lainnya adalah kronologi revelasi yang ditulis
Abu Al-Qasim Al-Naisaburi
yang mengikuti sistem penanggalan Al-Qur’an berdasarkan sejarah dan masa
turunnya (manhaj tarikhi zamani). Ia membagi kronologi Al-Qur’an dalam tiga
tahap.[26]
Pertama, tahap
permulaan (marhalah ibtida’iyah) :
- Surat Al-‘Alaq [96]
- Surat Al-Mudatstsir [74]
- Surat At-Takwir [81]
- Surat Al-A’la [87]
- Surat Al-Lail [92]
- SuratAl-lnsyirah [94]
- Surat Al-‘Adiyah [100]
- Surat At-Takwir [102]
9.
Surat An-Najm [53]
Kedua, tahap pertengahan (marhalah mutawasithah) :
- Surat ‘Abasa [80]
- Surat Ath-Thin [95]
- Surat Al-Qari’ah [101]
- Surat Al-Qiyamah [75]
- Surat Al-Mursalat [77]
- Surat Al-Balad [90]
7.
Surat Al-Hijr [15]
Ketiga, tahap akhir (marhalah khatamiyah) :
- Surat Ash-Shaffat [37]
- Surat Az-Zukhruf [43]
- Surat Ad-Dukhan [44]
- Surat Adz-Dzariyyat [51]
- Surat Al-Kahfi [18]
- Surat lbrahim [14]
7.
Surat As-Sajdah [32]
Sistem penanggalan Makkiyyah dan Madaniyyah yang telah
dikemukakan seperti terlihat di atas, didasarkan pada tiga asumsi. Pertama,
surat-surat Al-Qur’an yang ada sekarag ini merupakan unit-unit wahyu orisinal.
Kedua, adalah memungkinkan untuk menetapkan tatanan kronologisnya. Ketiga, bahan-bahan
tradisional termasuk literatur hadis, sirah (sejarah), asbab An-Nuzul, nasikh mansukh,
serta kitab-kitab tafsir bi Al-ma'tsur telah menyediakan suatu basis yang
kukuh untuk penanggalan surat-surat Al-Qur’an. Namun, asumsi-asumsi ini
memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Lebih jauh, sistem periodisasi Makkiyyah
dan Madaniyyah juga tidak memadai sebagai basis kajian-kajian tematis-kronologis
Al-Qur’an yang lebih menitikberatkan sistem penanggalannya kepada perkembangan
atau peralihan tema dan bagian-bagian individual sebagai unit wahyu orisinil.[27]
Semua upaya modern yang ditunjukkan pada penyusunan
periodisasi sejarah Al-Qur’an
berpangkal dari karya pioner yang ditulis oleh seorang sarjana Jerman bernama
Theodore Noldeke (Studi Orsinal Noldeke, Geschihte des Qurans), yang pertama
kali terbit pada tahun 1860. Edisi keduanya yang telah direvisi dan diperluas
oleh muridnya, schwally, dan kemudian oleh Begstrasser dan Pretzel diterbitkan
secara berturut-turut pada tahun 1909, 1982, edisi salinan dari ketiga volume
tersebut terakhir diterbitkan oleh Hildesheim pada tahun 1961.[28]
Noldeke membagi triparti dari surat-surat Mekah ke
dalam periode awal, menengah, dan akhir, suatu standar bagi sarjana-sarjana
yang kemudian. Meskipun dia tidak pernah mengklaim bahwa adalah mungkin untuk
menetapkan kronologi menyeluruh atas semua teks Al-Qur’an dengan kepastian yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan (tujuan Noldeke adalah menetapkan korelasi
yang tepat antara relevansi Al-Qur’an dengan framework biografis sirah). Namun,
usaha-usaha yang belakangan, terutama yang dilakukan Richard Bell, berupaya menyelesaikan
tugas tersebut dengan menyerahkan semua energinya untuk menyusun seluruh
kronologis teks Al-Qur’an sampai sekecil-kecilnya. Hasilnya, karyanya itu
sungguh-sungguh sangat ekstrensik. Ia lebih mencerminkan karya dari sosok
patalogis dari seseorang misionaris Scot ketimbang karya mengenai susunan
kronologis revelasi Al-Qur’an. Meskipun banyak sarjana muslim sering menganggap
usaha-usaha para sarjana Barat semacam itu sebagai ilmiah (prinsip penentuan
turunnya ayat dalam matriks biografis sirah, menurut pendapat mereka, bukanlah
merupakan serangan ideologis terhadap kitab suci), kecil kemungkinan bisa
dihasilkannya suatu karya yang lebih dari sekedar generalisasi kasar atau umum,
bahkan melalui metode-metode modern terbaik sekalipun.
Inilah klasifikasi surat-surat Al-Qur’an sebagaimana
diajukan Noldeke :[29]
Periode Mekah I : Surat
Al-‘Alaq [96], Surat Al-Mudatstsir [4], Surat Al-Lahab [111], Surat Al-Kautsar
[108], Surat Al-Humazah [104], Surat Al-Ma’un [107], Surat At-Takwir [102],
Surat Al-Fil [105], Surat Al-Lail [92], Surat Al-Balad [90], Surat Al-Insyirah
[94], Surat Ad-Dhuha [93], Surat Al-Qadar [97], Surat Ath-Thariq [86], Surat Asy-Syams
[91], Surat 'Abasa [80], Surat Al-Qalam [68], Surat Al-A'la [87], Surat Ath-Thin
[95], Surat Al-'Ashr [103], Surat Ath-Thariq [85], Surat Al-Muzammil [73], Surat
Al-Qari'ah [101], surat Az-Zalzalah [99], Surat Al-lnfithar [82], Surat
At-Takwir [81], Surat An-Najm [53], Surat Al-Insyiqaq [84], Surat Al-'Adiyah [100],
Surat An-Nazi'at [79], Surat Al-Mursalat [77], Surat An-Naba' [78], Surat
Al-Ghasyiyah [88], Surat Al-Fajr [89], Surat Al-Qiyamah [75], Surat Al-Muthaffifin [83], Surat
Al-Haqqah [69], Surat Adz-Dzariyyat [51], Surat Ath-Thur [52], Surat Al-Waqi'ah
[56], Surat Al-Ma'arij [70], Surat Ar-Rahman [55], Surat Al-Ikhlash [112],
Surat Al-Kafirun [109], Surat Al-Falaq [113], Surat An-Nas [114], surat Al-Fatihah
[1].
Periode Mekah II : Surat
Al-Qamar [54], Surat Ash-Shaffat [37], Surat Nuh [71], surat Al-lnsan [76],
Surat Ad-Dukhan [44], Surat Qaf [50], Surat Thaha [20], Surat Asy-Syura [26],
Surat Al-Hijr [15], Surat Maryam [19], Surat Shad [38], Surat Yaa Siin [36],
Surat Az-Zukhruf [43], Surat Al-Jin [72], Surat Al-Mulk [67], Surat Al-Mu'minun
[23], Surat Al-Anbiya' [21], Surat Al-Furqan [25], Surat Al-lsra' [17], Surat An-Naml
[27], Surat Al-Kahfi [18].
Periode Mekah III : Surat
As-sajdah [32], Surat Fushshilat [41], Surat Al-Jatsiyyah [45], Surat An-Nahl
[16], Surat Ar-Rum [30], Surat Hud [11], Surat Ibrahim [14], Surat Yusuf [12],
Surat Al-Mu'min [40], Surat Al-Qashshash [28], Surat Az-Zumar [39], Surat
Al-Ankabut [29], Surat Luqman [31], Surat Asy-Syura [42], Surat Yunus [10],
Surat Saba' [34], Surat Fathir [35], Surat Al-A'raf [7], Surat Al-Ahqaf [46],
Surat Al-An'am [6], Surat Ar-Ra'd [13].
Periode Madinah : Surat Al-Baqarah [2], Surat Al-Bayyinah [98],
Surat At-Taghabun [64],
Surat Al-Jumu'ah [62], Surat Al-Anfal [8], Surat Muhammad [47], Surat Ali ‘Imran
[3], Surat Ash-Shaff [61], Surat Al-Hadid [57], Surat An-Nisa' [4], Surat Ath-Thalaq
[85], Surat Al-Hasyr [59], Surat Al-Ahzab [33], Surat Al- Munafiqun [63], Surat
An-Nur [24], Surat Al-Mujadalah [58], Surat Al-Hajj [22], Surat Al-Fath [48], Surat
At-Tahrim [66], Surat Al-Mumtahanah [60], Surat An-Nashr [110], Surat Al-Hujurat
[49], Surat Yunus [10], Surat Al-Ma'idah [5].
Sebenarnya, sistem penanggalan empat periode Noldeke
di atas, dipengaruhi sistem penanggalan yang dirumuskan Gustav Weil. Weil
dipandang sebagai sarjana Barat pertama yang melakukan kajian penanggalan
Al-Qur’an dan pendiri madzhab penanggalan empat periode, lewat karya
monumentalnya, Histoisch-kristisch Einteitung in der Koran (1844, 1878).
Ia menerima teori sarjana muslim bahwa surat-surat Al-Qur’an merupakan
unit-unit dari wahyu, sehingga dapat disusun dalam suatu tatanan kronologis
dengan berpijak kepada hadis-hadis. Akan tetapi, ia berbeda dengan sarjana
muslim ketika membagi surat-surat Makkiyyah ke dalam tiga periode. Periode
pertama (awal), kedua (tengah), dan periode ketiga (akhir). Sementara periode
Madinah tetap diterimanya.[30]
Titik pembabakan penanggalan empat periode di atas
adalah masa Nabi hijrah ke Abesina (± 615 M), waktu kembalinya Nabi dari Tha'if
(± 620 M) dan perisitiwa hijrah ke Madinah (± 622 M). Weil juga memperkenalkan
tiga kriteria penyusunan kronologis surat-surat Al-Qur’an :
- Rujukan pada peristiwa-peristiwa historis yang diketahui dari sumber-sumber lainnya;
- Karakter wahyu-wahyu sebagai refleksi dan perubahan-perubahan situasi dan peran Muhammad SAW; dan
3.
Penampakan luaran atau bentuk wahyu. Sistem penanggalan empat periode Weil,
asumsinya tentang Al-Qur’an dan kriteria tentang penanggalannya, kemudian mempengaruhi
dan diikuti oleh sarjana-sarjana Barat.[31]
Susunan kronologis surat-surat Al-Qur’an versi Weil adalah sebagai berikut
:[32]
Periode Mekah I : Surat
Al-'Alaq [96], Surat Al-Mudatstsir [74], Surat Al- Muzammil [73], Surat Al-Quraisy
[106], Surat Al-Lahab [111], Surat An-Najm [53], Surat At-Takwir [81], Surat Al-Qalam
[68], Surat Al-A'la [87], Surat Al-Lail [92], Surat Al-Fajr [89], Surat
Al-'Alaq [96], Surat Al-Insyirah [94], Surat Al-‘Ashr [103], Surat Al-'Adiyah [100],
Surat Al-Kautsar [108], Surat At-Takwir [102], Surat Al-Ma'un [107], Surat
Al-Kafirun [109], Surat Al-Fil [105], Surat At-Falaq [113], Surat An-Nas [114],
Surat Al-Ikhlash [112], Surat ‘Abasa [90], Surat Al-Qadar [97], Surat Asy-Syams
[91], Surat Ath-Thariq [85], Surat Al-Balad [90], Surat Ath-Thin [95], Surat
Al-Qari'ah [101], Surat Al-Qiyamah [75], Surat Al-Humazah [104], Surat Al-Mursalat
[77], Surat Ath-Thariq [86], Surat Al-Ma’arij [70], Surat An-Naba' [78], Surat
An-Nazi’at [79], Surat Al-Infithar [82], Surat Al-Waqi'ah [56], Surat Al-Ghasyiyah
[88], Surat Ath-Thur [52], Surat Al-Haqqah [69], Surat Al-Muthaffifin [93], Surat
Az-Zalzalah [99].
Periode Mekah II : Surat
Al-Fatihah [1], Surat Adz-Dzariyyat [51], Surat Yaa Siin [36], Surat Qaf [50],
Sur:at Al-Qamar [54], Surat Maryam [19], Surat Thaha [20], Surat Al-Anbiya'
[21], Surat Al-Mu'minun [23], Surat Al-Furqan [25], Surat Asy-Syu’ara [26], Surat
Al-Mulk [67], Surat Ash-Shaffat [37], Surat Shad [38], Surat Az-Zukhruf [43], Surat
Nuh [71], Surat Ar-Rahman [55], Surat Al-Hijr [15], Surat Al-lnsan [76].
Periode Mekah III : Surat
Al-A'raf [7], Surat Al-Jin [72], Surat Fathir [35], Surat An-Nam [27], Surat Al-Qashshash
[28], Surat Al-lsra [17], Surat Yunus [10], Surat Hud [11], Surat Yusuf [12],
Surat Al-An'am [6], Surat Luqman [31], Surat Saba' [34], Surat Az-Zumar [39],
Surat Al-Mu'min [40], Surat As-Sajdah [32], Surat Asy-Syu’ara [42], Surat Al-Jatsiyyah
[45], Surat Al-Ahqaf [46], Surat Al-Kahfi [18], Surat An-Nahl [16], Surat Ibrahim
[14], Surat Fushshilat [41], Surat Ar-Rum [30], Surat Al-Ankabut [29], Surat
Ar-Ra'd [13], Surat At-Taghabun [64].
Periode Madinah : Surat Al-Baqarah [2], Surat Al-Bayyinah [98],
Surat At- Taghabun [64], Surat Al-Jumu'ah [62], Surat Al-Anfal [8], Surat
Muhammad [47], Surat Ali-'Imran [3], Surat Al-Hasyr [59], Surat An-Nur [24],
Surat Al-Munafiqun [63], Surat Al-Ahzab [33], Surat Al-Fath [48], Surat
An-Nashr [110], Surat Ash-Shaff [61], Surat Al-Mumtahanah [60], Surat Al-Mujadalah
[58], Surat Al-Hujurat [49], Surat At-Tahrim [66], Surat Yunus [10], Surat
Al-Ma'idah [5].
Jika dilakukan perbandingan
antara kronologis Weil dan Noldeke, terlihat bahwa surat-surat Al-Qur’an yang
dimasukkan Weil ke dalam periode Mekah pertama (awal) seluruhnya diterima Noldeke
dengan tambahan tiga surat lainnya (surat Al-Fatihah [1], Surat Adz-Dzariyyat [51]
dan Surat Ar-Rahman [55]. Demikian pula, dalam periode-periode selanjutnya,
hanya terlihat sedikit perbedaan antara kedua sarjana tersebut.
E.
Urgensi Pengetahuan tentang Makkiyyah dan Madaniyyah
An-Naisaburi,
dalam kitabnya At-Tanbih 'ala Fadhl 'Ulum Al-Quran, memandang subjek
Makkiyyah dan Madaniyyah sebagai ilmu Al-Qur’an yang paling utama. Sementara
itu, Manna' Al-Qaththan mencoba lebih jauh lagi dalam mendeskipsikan urgensi mengetahui
Makkiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut.
1.
Membantu dalam Menafsirkan Al-Quran
Pengetahuan
tentang peristiwa-peristiwa di seputar turunnya Al-Qur’an tentu sangat membantu
memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, kendatipun ada teori yang
mengatakan bahwa yang harus menjadi patokan adalah keumuman redaksi ayat dan
bukan kekhususan. Dengan mengetahui kronologis Al-Qur’an pula, seorang mufassir
dapat memecahkan makna kontradiktif dalam dua ayat yang berbeda, yaitu dengan
pemecahan konsep nasikh-mansukh yang hanya bisa diketahui melalui kronologi Al-Qur’an.
2.
Pedoman bagi Langkah-langkah Dakwah
Setiap kondisi
tentu saja memerlukan ungkapan-ungkapan yang relevan. Ungkapan-ungkapan dan
intonasi berbeda yang digunakan ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah memberikan
informasi metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan dengan
orang yang diserunya. Oleh karena itu, dakwah islam berhasil mengetuk hati dan
menyembuhkan segala penyakit rohani orang-orang yang diserunya. Disamping itu, setiap
langkah-langkah dakwah memiliki objek kajian dan metode-metode tertentu,
seiring dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manusia. Periodisasi Makkiyyah
dan Madaniyyah telah memberikan contoh untuk itu.
3.
Memberi Informasi tentang Sirah Kenabian
Penahapan
turunnya wahyu seiring dengan perjalanan dakwah Nabi, baik di Mekah atau di
Madinah, dimulai sejak diturunkannya wahyu pertama sampai diturunkannya wahyu
terakhir. Al-Qur’an adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah Nabi itu. Informasinya
tidak bisa diragukan lagi.[33]
[1] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits
fi ’Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, 1973), h. 61-62.
[2] Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Fikr, Jilid 1), h. 13-14.
[3] Isi ayatnya :
¨bÎ)
©!$#
öNä.ããBù't
br&
(#rxsè?
ÏM»uZ»tBF{$#
#n<Î)
$ygÎ=÷dr&
#sÎ)ur
OçFôJs3ym
tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$#
br&
(#qßJä3øtrB
ÉAôyèø9$$Î/
4
¨bÎ)
©!$#
$KÏèÏR
/ä3ÝàÏèt
ÿ¾ÏmÎ/
3
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
$JèÏÿx
#ZÅÁt/
.
(Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat).
[4] Isi ayatnya :
tPöquø9$#
àMù=yJø.r&
öNä3s9
öNä3oYÏ
àMôJoÿøCr&ur
öNä3øn=tæ
ÓÉLyJ÷èÏR
àMÅÊuur
ãNä3s9
zN»n=óM}$#
$YYÏ
4
.
(Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu Jadi agama bagimu).
[5] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits
fi ’Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, 1973), h. 61.
[6] Ibid, h. 62.
[7] Isi ayatnya :
öqs9
tb%x.
$ZÊ{tã
$Y7Ìs%
#\xÿyur
#YϹ$s%
x8qãèt7¨?^w
.`Å3»s9ur
ôNyãèt/
ãNÍkön=tã
èp¤)±9$#
4
cqàÿÎ=ósuyur
«!$$Î/
Èqs9
$oY÷èsÜtFó$#
$uZô_tsm:
öNä3yètB
tbqä3Î=ökç
öNåk|¦àÿRr&
ª!$#ur
ãNn=÷èt
öNåk¨XÎ)
tbqç/É»s3s9
.
(Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu Keuntungan yang
mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka
mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu Amat jauh terasa oleh mereka. mereka
akan bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau Kami sanggup tentulah Kami
berangkat bersama-samamu." mereka membinasakan diri mereka sendiri[644]
dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang
berdusta).
[8] Isi ayatnya :
ö@t«óur ô`tB $oYù=yör& `ÏB y7Î=ö6s% `ÏB !$uZÎ=ß $uZù=yèy_r& `ÏB Èbrß Ç`»uH÷q§9$# ZpygÏ9#uä tbrßt7÷èã .
(Dan Tanyakanlah kepada Rasul-rasul Kami
yang telah Kami utus sebelum kamu: "Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan
untuk disembah selain Allah yang Maha Pemurah?).
[9] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits
fi ’Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, 1973), h. 61.
[10] Isi ayatnya :
$pkr'¯»t
â¨$¨Y9$#
(#rßç6ôã$#
ãNä3/u
Ï%©!$#
öNä3s)n=s{
tûïÏ%©!$#ur
`ÏB
öNä3Î=ö6s%
öNä3ª=yès9
tbqà)Gs?
.
(Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa).
[11] Isi ayatnya :
$ygr'¯»t
â¨$¨Z9$#
(#qè=ä.
$£JÏB
Îû
ÇÚöF{$#
Wx»n=ym
$Y7ÍhsÛ
wur
(#qãèÎ6®Ks?
ÏNºuqäÜäz
Ç`»sÜø¤±9$#
4
¼çm¯RÎ)
öNä3s9
Arßtã
îûüÎ7B
.
(Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu).
[12] Subhi al-Shalih, Mabahits
fi ’Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Qalam li al-Malayyin, 1988), h. 168.
[13] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits
fi ’Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, 1973), h. 76.
[14] Ibid, h. 60.
[15] Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Fikr, Jilid 1), h. 9.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid, h. 9-24.
[19] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits
fi ’Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, 1973), h. 61.
[20] Ibid, h. 63-64.
[21] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits
fi ’Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, 1973), h. 63-64.
[22] Ibid.
[23] Isi ayatnya :
}§t6tã
#¯<uqs?ur
ÇÊÈ br& çnuä!%y` 4yJôãF{$# ÇËÈ $tBur
y7Íôã
¼ã&©#yès9
#ª1¨t
ÇÌÈ ÷rr& ã©.¤t çmyèxÿYtGsù #tø.Ïe%!$# ÇÍÈ $¨Br&
Ç`tB
4Óo_øótFó$#
ÇÎÈ |MRr'sù ¼çms9 3£|Ás? ÇÏÈ
$tBur y7øn=tã wr& 4ª1¨t ÇÐÈ $¨Br&ur
`tB
x8uä!%y`
4Ótëó¡o
ÇÑÈ uqèdur 4Óy´øs ÇÒÈ |MRr'sù
çm÷Ztã
4¤Sn=s?
ÇÊÉÈ
(1.Dia (Muhammad) bermuka masam dan
berpaling, 2. Karena telah datang seorang buta kepadanya[1554]. 3. Tahukah kamu
barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), 4. Atau Dia (ingin)
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? 5.
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup[1555], 6. Maka kamu melayaninya. 7.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman). 8.
Dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan
pengajaran), 9. Sedang ia takut kepada (Allah), 10. Maka kamu mengabaikannya).
[24] Montgomery Watt, Bell’s
Introduction to the Quran, (Edinburgh: University Press, 1991), h. 108.
[25] Jurnal kiblat, 5-20
Februari 1987, h. 44.
[26] Subhi al-Shalih, Mabahits
fi ’Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Qalam li al-Malayyin, 1988), h. 184.
[27] Taufiq Adnan Amal, Tafsir
Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1989), h. 92.
[28] Jurnal Kiblat, 5-20
Februari 1987, h. 44.
[29] Montgomery Watt, Bell’s
Introduction to the Quran, (Edinburgh: University Press, 1991), h. 110-111.
[30] Ibid, h. 307-309.
[31] Ibid
[32] Ibid
[33] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits
fi ’Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, 1973), h. 59-60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar