SEJARA dan PEMIKIRAN AL-QUSYAIRI
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA: ARRI ALIANSYAH
MATA KULIAH: AKHLAK TASAWUF
DOSEN PEMBIMBING: IKBAL IRHAM
JURUSAN JINAYAH SIYASYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2011
SEJARAH
DAN PEMIKIRAN AL-QUSYAIRI
Dalam
sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi tiga; pertama, tasawuf yang mengarah pada
toeri-teori perilaku; kedua, tasawuf
yang mengarahkan pada teeori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman
mendalam; ketiga, tasawuf yang
pendekatannya melalui hati yang bersih (suci) yang dengannya seorang dapat
berdiolog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan (ma’rifat) dimasukkan
Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap lewat ilham.
Tasawuf yang berorientasi kearah pertama
sering disebut sebagai tasawuf akhlaki.
Adapun tasawuf yang berorientasi kearah yang kedua disebut
sebagai tasawuf falsafi dan yang berorientasi kearah yang ketiga disebut
sebagai tasawuf irfani.[1]
Dan, yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah yang pertama yaitu
tasawuf akhlaki termasuk salah satu tokohnya yaitu Al-Qusyairi.
Pada
tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri
dari takhalli (mengosongkan diri dari
akhlak yang buruk), tahalli ( menghiasi dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding penghalang
(hijab) ) antara manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya.[2]
Tasawuf
akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik Islam hingga zaman modern
sekarang sering di gandrungi orang karena penampilan paham atau
ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit. Tasawuf seperti ini banyak berkembang di dunia Islam,
terutama di Negara-negara yang dominan
bermazhab Syafi’i.
Pada
mulanya, tasawuf itu ditandai ciri-ciri psikologis dan moral, yaitu pembahasan
analisis tentang jiwa manusia dalam menciptakan moral yang sempurna.[3] Adapun
ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain:
1. Melandaskan
diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tasawuf jenis ini, dalam pengamalan
ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qur’ani dan Hadis sebagai kerangka
pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya pada konteks yang berada
di luar pemahaman Al-Qur’an dan Hadis yang mereka pahami, kalau pun harus ada
penafsiran, panafsiran itu sifatnya hanya hanya sekedarnya dan tidaka begitu
mendalam.
2. Tidak
menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-uangkapan syathatat. Terminology-terminologi di
kembagngkan tasawuf Sunni lebih transparan, sehingga tidak kerap bergelut dengan terma-terma syathatat.
Walaupun ada tema yang mirip syathatat,
itu di anggapanya merupakan pengalaman pribadi dan mereka tidak menyebarkannya
kepada orag lain. Pengalaman yang ditemukannya itu mereka anggap pula sebagai
sebuah karamah atau eajaiban yang mereka temui. Sejalan dengan ini, Ibnu
Khaldun sebagaiana dikutip At-Taftazani, memuji para pengikut Al-Qusyairi yang
beraliran Sunni, karena dalam aspek ini mereka memang meneladani para sahabat.
Pada diri sahabat dan tokoh angkatan salaf telah banyak terjadi kekeramatan
seperti itu.
3. Lebih
bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme
yang dimaksudkan disini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan
Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam
hal esensinya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat
manusia dapat menyatu dengan Tuhan.
Al-Qur’an dan Hadis dengan jelas menyebutkan bahwa
“inti” makhluk adalah “bentuk lain” dari Allah. Hubungan antara sang pencipta
dengan yang diciptakan bukanlah merupakan salah satu persamaan, tetapi “bentuk
lain”. Benda yang diciptakan Allaha adalah bentuk lain dari penciptanya. Hal
ini tentunya berbeda dengan paham-paham filosofis yang terkenal dengan
ungkapan-ungkapan keganjilannya. Kaum sufi Sunni menolak ungkapan-ungkapan
ganjil seperti yang disebutkan Abu Yazid al-Busthami dengan teori fana’ da baqa-nya, Al-Hallaj dengan konsep hulul-nya, dan Ibnu Arabi dengan konsep dahwatul wujud-nya.
4. Kesinambungan
antara hakikat dengan syari’at. Dalam penegrtian lebih khusus, keterkaitan
antara tasawuf (sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqh (aspek lahirnya). Hal
ini merupakan konsekuensi dari paham diatas. Karena berbeda dengan Tuhan,
manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan
tetap berada pada posisi atau kedudukannya
sebagi objek penerima informasi dari Tuhan. Kaum sufi dari kalangan
Sunni tetap memandang penting persoalan-persoalan lahiriah-formal, seperti
aturan aturan yang dianut oleh fuqaha. Aturan-aturan itu bahkan sering di
anggap sebagai jembatan untuk berhubungan dengan Tuhan.
5. Lebih
terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengaobatan jiwa dengan
cara riyadhah
(latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Tasawuf
akhlaki adalah taswuf yang berorientasi pada teori perilaku. Tasawuf seperti
ini ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan dalam kaum
salaf (salafi). Pada mulanya, taswuf
ini bercirikan untuk mengupayakan agar manusia memiliki moral atau akhlak yang
sempurna. Pada periode ini, para sufi telah melihat bahwa manusia adalah
makhluk jasmani dan rohani karena wujud kepribadiannya bukanlah
kualitas-kualitas yang bersifat material belaka, tetapi justru bersifat
kualitas-kualitas rohaniyah-spritual yang hidup dan dinamis.[4]
Dalam
tasawuf akhlaki ini akan di bahas mengenai salah seorang tokohnya, yaitu
Al-Qusyairi. Baik itu sejarahnya maupun perannya dalam dunai tasawuf. Berikut ini akan di uraikan mengenai hal-hal
tersebut.
a.
Biografi singkat
Al-Qusyairi
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama
dari adad kelima Hijriah. Kedudukannya demikian penting mengingat
karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran Sunni pada abad
ketiga dan keempat Hijriah, menyebabkan terpeliharanya pendapat dan
khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun secara praktis.[5]
Nama lengkap Al-Qurairi
adalah ‘Abdul karim bin Hawazin al-Qusyairi, lahir tahun 376 H. di Istiwa,
kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disini lah ia bertemu dengan
gurunya, abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qurairi selalu menghadiri
majelis gurunya dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankannya untuk pertama-tama
mempelajari syariat. Oleh karena itu, dia selalu mempelajari fiqih dari
seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H),
dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqih Abu Bakr bi Farauk (wafat tahun
406 H).[6]
Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy,
kecuali hanya sedikit saja. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim.
Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya
diserahkan pada Abul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga
al-Qusyairy. Pada al-Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra. Para penguasa
negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat
terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang
untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai
penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat
memberatkan rakyat..
Selain itu, ia pun menjadi
murid Abu Ishak al-Isfarayini (wafat tahun 418 H) dan menelaah banyak
karya al-Baqillani. Dari situlah Al-qusyairi
berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah
Wal Jama’ah yang dikembangkan al-Asyi’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah
pembela paling tangguh dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah,
Karamiyyah, mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat serangan
keras dan dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Thugrul Bek karena hasutan seorang menterinya yang
menganut aliran Mu’tazilah Rfidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang
bermula pada tahun 445 H, diuraikannya
dalam karyanya, Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut ibnu Khallikan,
Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu mengompromikan syari’at dengan hakikat.
Dia wafat tahun 465 H.[7]
Sebagaimana telah disinggung diatas, Al-Qusyairi
adalah seorang tokoh yang terkemuka pada
abad kelima Hijriyah yang cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan
mengembalikan tasawuf ke landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan
ciri-ciri utama dari ajaran tasawuf sunni.
Kedudukannya yang demikian penting, menginget karya-karyanya tentang para
sufi dan tasawuf aliran sunni pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah, yang
membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari
segi teoritis maupun praktis. Menurut Ibnu Khalikan, Al-Qusyairi adalah seorang
tokoh yang mampu “mengkompromikan syariat dengan hakikat”.[8]
Dapat dikatakan, Al-Qusyairi terkenal karena ia
menuliskan sebuah risalah tentang tasawuf, yang diberi nama Ar-Risalah
al-Qusyairiah. Sebenarnya, kitab ini ditulis olehnya untuk golongan orang-orang
sufi dibeberapa negara Islam dalam tahun 473 H, kemudian tersiar luas keseluruh
tempat kerena isinya ditujukan untuk mengadakan perbaikan terhadap
ajaran-ajaran sufi yang pada saat itu telah banyak menyimpang dari sumber hukum
Islam. Karya tulis Al-Qusyairi yang paling terkenal dan hingga saat ini menjadi
bahan bacaan wajib bagi para peminat tasawuf adalah Risalah al-Qusyairiyyah fi’Ilm at-Tasawufi.[9]
Al-Qusyairi
adalah tokoh yang senantisa mengamalkan ajaran tasawuf, sehingga dalam sebuah
buku[10],
Khamsyakhanuwi menyatakan bahwa terdapat tokoh-tokoh sesudah abad ketiga
Hijriyah yang walaupun sedah wafat mereka terus meerus beramal dalam kuburnya
seperti ketika masih hidup. Beberpa diantaranya adalah Syeik Junaid
al-Baghdadi, Abu Yazid al-Bustami, Imam Syibli, Al-Qsyairi, Asy-Syibani dan
masih banyak sekali yang lain bahkan sampai beribu-ribu.
Pada permulaannya, diktrin-doktrin tasawuf di
ajarkan melalui tanda-tanda, sebagimana sekarang juga dilakukan terhadap
bagian-bagian yang berisi okultisme. Mereka yang sudah mahir akan mampu
berbicara satu sama lain dengan tanda-tanda, tanpa mengucapkan sebuah kata pun.
Dzun Nun adalah orang yang pertama kali merumuskan doktrin-doktrinnya melalui
kata-kata. Junaid dari Baghdad juga mensistematisasi hal yang sama. Abu Bakar
Shibli adalah orang yang menyerukan hal serupa dari mimbar masjid. Sebagaimana
juga Socrates yang menurunkan filsafatnya dari “langit” ke dunia. Hal serupa
juga dapat ditemukan pada karya tulis Abul Qasim al-Qusyairi dalam risalahnya: Risala-i-Qusyairiyah fi ilm-ut-Tasawuf.[11]
b.
Pemikiran
Al-Qusyairi
1.
Mengembalikan
Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah
Seandaikan
karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairi dikaji secara mendalam, akan tampak
jelas bagaimana dia cenderung mengembalikan
tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah , sebagimana pernyatannya,
“ketauhilah!
Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf
atas landasan tauhidyang benar, sehingga terpeliharah doktrin mereka dari
penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlus Sunnah, yang tidak
tertandingi serta mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bias mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan
dari ketiadaannya. Karena itu, tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatakan bahwa
tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan
doktrin-doktrin mereka pun di dasarkan
pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan seperti dikatakan Abu
Muhammad Al-Jariri bahwa barang siapa yang tidak mendasarkan ilmu tauhid pada
salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincir kaki yang tertipu kedalam jurang
kehancurannya.”,
Secara
implisit dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut terkandung penolakan terhadap para
sufi syathahi yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya
perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan
sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya. Bakan dengan konotasi lain,
secara terang-terangan Al-Qusyairi mengkritik mereka,
“Mereka
menyatakan bahwa mereka telah bebas dariperbudakan sebagai belenggu dan berhasil
mencapai realita-realitas rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul). Lebih jauh
lagi, mereka tegak bersama Yang Maha Besar, dimana hukum-hukum-Nya berlaku atas
diri mereka, sementar mereka dalam keadaan fana. Allah pun, menurut mereka tidak mencela maupun melarang apa yang mereka nyatakan ataupun lakukan. Dan
kepada mereka disingkapkan rahasia-rahasia keesaan dan setelah fana, mereka pun
tetap memperoleh cahaya-cahaya ketuhanan, tempatbergantung pada sesuatu….”
2.
Selain itu,
Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran
mereka mempergunakan pakaian orang-orang
miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan tindakan mereka. Ia
menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, lebuh penting
ketimbang pakaian lahiriah. Sebagimana perkatannya,
“Duhai saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh
pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya).
Sebab, ketika hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak
keburukan para sufi yang megada-ada dalam berpakaian - setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun
penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan
setiap yang batin itu bertentangan
dengan lahir adalah keliru dan bukannya
yang batin… setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-Qur’an maupun As-sunnah
adalah pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid; setiap pengenalan terhadapa Allah
yang tidak dibarengi kerendahan hati maupuin kelurusan jiwa adalah palsu dan
bukannya pengenalan terhadap Allah.”
3.
Penyimpangan
Para Sufi
Dalam
konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas, Al-Qusyairi mengemukakan
suatu penyimpangan lain dari pada abad kelima Hijriah,
“Kebanyakan para sufi
yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok
tersebut telah tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari
kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas mereka.”
Kemah
itu hanya serua kemah mereka.
Kaum
wanita itu, kulihat, bukan mereka.
Zaman
telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari
hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka.
Tidak banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan
mereka. Sirnalah kerendahan hati dan punahlah sudah kesederhanaan hidup.
Ketamakan semaki menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah
kehormatan harga dari kalbu. Betapa sedikit orang-0orang yang berpegang teguh
pada agama. Banyak orang yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka
cenderung meninggalkan sikap menghormati
orang lain dan membuang jauh rasa mau. Bahkan, mereka merasa enteng pelaksanaan
ibadah , melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan.dan
mereka jatuh dalam pelukan nfsu suahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan
hal-hal yang tidak diperbolehkan…….”
Pendapat
Al-Qusyairi diatas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya,
paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf
pada masanya mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik
dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.
Oleh
karena itu pula, Al-Qsyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena
dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak
bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan
mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu,
menurutnya, sekedar “pengobatan keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada
masanya.
Al-Qusyairi
cenderung mengembalikan tasawuf ke atas
landasan doktrin ahlu al-sunnah yaitu dengan mengikuti para sufi sunni pada
abad ketiga dan keempat Hijriyah. Dia menolak terhadap sufi syathahi, yang
menyatakan adanya perpaduan antara sifat-sifat ke-Tuhanan, khususnya sifat
qodim-Nya, dan sifat-sifat kemanusiaan khususnya sifat hadis-Nya. Dari sini
jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali,
yang berafiliasi pada aliran yang sama yaitu Al-Asy’ariyayah, yang nantinya
akan merujuk paada gagasan Al-Qusyairi.[12]
Dari
uraian diatas, tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, munurut Al-Qsyairi
harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang dalam hal
ini ialah dengan mengikuti para sufi Sunni pada abad-abad ketiga dan
keempat Hijriah yang sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
Dalam
hal ini, jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang
dirafiliasi pada aliran yang sama , yaitu Al-Asy’ariyah yang nanti akan merujuk
pada gagasannya itu serta menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibimaupun
Al-Junaid, secara melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal
dengan ungkapan-ungkapan yang ganjil.
Selian
dari ketiga hal diatas, Al-Qusyairi juga memberikan pandangannya
kepada beberapa istilah yang ada dalam tasawuf, seperti fana’ dan baqa’, wara’,
syari’at dan hakikat:
a. Baqa’ dan
Fana’
Dalam struktul ahwal[13],
yaitu mengenai fana’ dan baqa’, Al-Qusyairi mengemukakan bahwa fana’ adalah gugurnya sifat-sifat
tercela,sedangkan baqa’ adalah jelasnya sifat-sifat terpuji. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak
adalah sifat-sifat terpuji. Sebalikya, apabila yang dominan adalah sifat-sifat
tercela maka sifat-sifat terpuji akan
tertutupi. Jika seorang individu secara terus-menerus membersihkan diri dengan segala upayanya,
maka Allah akan memberikan anugerah melelui kejernihan perilakunya, bahkan
dengan penyempurnaan tingkah laku tersebut.
b. Wara’
Pemikiran
Al-Qusyairi yang lain adalah wara’,
menurutnya wara’ merupakan usaha
untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat
(sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara’ adalah suatu pilihan
bagi ahli tarekat.[14]
c.
Syari’at
dan
Hakikat
Al-Qusyairi
membedakan antara syari’at dan hakikat; hakikat itu adalah penyaksian manusia
tentang rahasia-rahasia ke-Tuhanan dengan mata hatinya. Sedangkan syari’at
adalah kepastian hokum dalam ubudiyah,sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari’at ditunjukkan dalam
bentuk kaifiyah lahiriah antara manusia dengan Allah SWT.[15]
Tasawuf
sebagi suatu ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad ke dua
Hijriah hingga saat ini tentu mmengembangkan bahasa khusus yang hanya bisa
dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran
dan penghayatan para sufi. Misalnya istilah “syari’at” bagi para sufi
pengertiannya selalu di hubungkan dengan
“halikat”. Maka menurut kacamata para sufi syari’at hanya diberi makna sebatas
tingkah laku lahiriah menurut aturan-aturan formal dari pada agama. Jadi,
tingkah laku batin seperti kekhusyukan jiwa dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan dalam shalat
beserta etika itu tidak dimasukkan dalam istilah syari’at. Oleh karena itu, imam
Al-Qusyari dalam risalahnya mengatakan:
“Maka
setiap syari’ah tidak di dukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap
hakikat yang tak terkait dengan dengan
syari’at tentu tidak ada hasilnya.” Syari’at dalam pengertian para sufi tidak
termasuk laku batin. Laku batin itu khusus milik kaum sufi. [16]
Dalam
ajaran tasawuf atau kebatinan, hati manusia di percayai punya kemampuan rohani
dan menjadi alat sAtu-satunya untuk ma’rifat pada Dzat Tuhan dan untuk mengenal sifat rahasia alam gaib.
Dalam hal ini, Al-Ghazali menjelaskan bahwa Dzat Tuhan itu sebenarnya terang
benderang. Hanya karena terlalu terang maka tak tertangkap oleh mata manusia. Mata manusialah yang tak
mampu menangkap Dzat Tuhan. Dalam hal ini, Al-Risalah al-Qusyairi lebih
memperinci lagi. Dia menyatakan bahwa di dalam qalbu terdapat ruh dan sir.
Seterusnya sir dikatakan sebagai tempat menyaksikan atau gaib, dan ruh
merupakan tempat mencintai Tuhan dan qalbu adalah tempat untuk ma’rifat kepada Dzat Tuhan.[17]
Karangan Al-Qusyairi yakni Risalah Qusyairiyah
juga memperngaruhi cara berfikir dari
al-Ghazali dalam menyatakan alasannya, banyak sekali di temukan ucapan-ucapan
Ibn Adham, Tustari, Muhasibi, terutama Abu Thalib al-Maliki (w.386M), pengarang
Qutul Qulub dan Ibnu Hawazan al-Qusyairi (w. 465 H) pengarang Risalah
Qusyairiyah (tokoh dalam bahasan ini), kedua pengarang dari kitab-kitab sufiyah
yang sangat mempengaruhi cara berfikir Al-Ghazali, begitu juga perkataan Nabi
Isa, Musa dan Daud sera Nabi-nabi yang lain.[18]
[1]
Mohammad Toriquddin, Sekularitas Tasawuf (Malang: UIN-Malang Press, 2008),
hal 165-166.
[2]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada Jakarta, 2009), hal 18.
[3]
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme
Klasik Ke Neo-Sufisme ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Jakarta,1999), hal
96.
[4]
Muzakkir, Studi Tasawuf (Medan :
Ciptapustaka Media Perintis, 2009), hal 33-34.
[5]
Rosihon Anwar,Ahklak Tasawuf (Bandung
: CV. Pustaka Setia, 2010), hal 183.
[6]
Muzakkir, Studi Tasawuf , hal 58.
[7] M.
Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hal 131.
[8]
Muzakkir, Studi Tasawuf , hal 58.
[9]
Asmaran, As, Pengantar Studi Tasawuf
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal 319
[10]
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo:
Ramadani, 1996) h. 39-40.
[11]
Khan Sahib Khaja Khan, Tasawuf Apa dan
Bagaimana (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) h. 141-142
[12] Moh.
Toriquddin, Sekularitas Tasawuf ,hal
172
[13]
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf
dan Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002) h.55
[14]
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf ,hal
103.
[15]
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf ,hal
107.
[16]
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam
Islam ( Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1996) h.9-10
[17]
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam
Islam, h.45-46.
[18]
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo:
Ramadani, 1996) h. 33