SELAMAT DATANG
MUSLIM/AH SEJATI

Minggu, 30 September 2012


"Sejarah Pengkodifikasian Hadis dan Ilmu Hadis"
BAB   I
PENDAHULUAN
Di antara para Ulama Hadis yang telah berjasa dalam pengkodifikasian (pengumpulan) Hadis dan Ilmu Hadis atau di kenal dengan istilah pelopor pengkodifikasian Hadis dan Ilmu Hadis  adalah : ‘Umar ibn ‘Abdu al-Aziz, Muhammad ibn Syaib al-Zuchri, Muhammad ibn Hazm dan Al-Ramahurmuzi. Ke empat ulama ini memiliki peran penting dalam mengupayakan dan menjadikan Hadis dan Ilmu Hadis itu terhimpun.
Meningat bahwa Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al- Qur’an, yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam itu sendiri. Yang mana menjaga kemurnian dan kebenarannya merupakan hal yang sangat penting bagi kita. Karena jika apa yang di pedomani oleh umat Islam itu salah (Hadis itu palsu) maka hal itu pun akan berdampak terhadap tingkah laku maupaun ahklak umat Islam itu sendiri pada  khususnya. Maka dari itulah pengkodifikasian Hadis dan Ilmu Hadis ini di lakukan agar terpeliharanya kemurnian dan kebenaran Hadis itu sendiri dengan mengulas kembali sejarah tentang pengkodifikasian Hadis dan Ilmu Hadis ini pertama kalinya.
Oleh karena itu, untuk mengulas kembali masalah pengkodifikasian hadis dan Ilmu Hadis tersebut, maka akan dibahas mengenai beberapa masalah yaitu :
a.      Pengertian pengkodifikasian Hadis
b.      Latar belakang di lakukannya pengkodifikasian Hadis dan Ilmu Hadis
c.       Para tokoh serta peranannya  dalam mengkodifikasian Hadis dan Ilmu Hadis
d.      Manfaat dari dilakukannya pengkodifikasian Hadis dan Ilmu Hadis





BAB  II
PEMBAHASAN
Mengutip kitab Al-Muhith, Al-Fairuz mengatakan bahwa : Tadwin secara bahasa diterjemahkan dengan “kumpulan Shahifah (Mujtama’ al-Shuhuf).”  Menurut Dr. Muhammad ibn Mathar al-Zahrani, Tadwin adalah “mengikat yang berserakan lalu menumpukkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran. Sedangkan secara luas, tadwin sendiri diartikan dengan al-Jam’u (mengumpulkan). Apabila merujuk pada dua pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa pentadwinan Hadis diartikan sebagai “Diwanul Hadits”. Dalam bahasa Indonesia tadwin ini lebih umum dikenal dengan nama kodifikasi.[1]
Kata Hadis (Arab: Hadits) secara etimologis berarti komunikasi ,cerita, percakapan, baik dalam konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan kejadian aktual. Penggunaannya dalam bentuk kata sifat atau adjektiva, mengandung arti  al- Jadid, yaitu yang baharu ,lawan kata dari al-Qodim, yang lama. Dengan demikian, pemakain kata Hadis disini seolah-olah di maksudkan untuk membedakannya dengan Al-Quran yang bersifat Qodim.[2] Sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama, Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat.”[3]
Sedangkan menurut pemakalah sendiri, pentadwinan atau pengkodifikasian Hadis  itu adalah usaha dalam mengumpulkan Hadis yang terpisah di kalangan  sahabat, hingga menjadi satu yang di susun dalam lembaran-lembaran.
Mengingat kembali bahwa Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah                         Al-Quran. Dan menjaga kemurnian serta kebenarannya merupakan hal  yang sangat penting. Maka muncullah pemikiran para Ulama Hadis untuk melestarikan Hadis-Hadis Nabi SAW dengan cara mengkodfikasikannya kedalam lembaran-lembaran.
Di antara para Ulama hadis  yang telah berjasa dalam pengkodifikasian (pengumpulan dan pembukuan) Hadis dan Ilmu Hadis, sejak masa pertama di kumpulkan secara resmi sampai pada penyeleksiannya antara yang shahih dan yang bukan shahih  adalah ‘Umar ibn ‘abd al- ‘Aziz , Muhammad ibn Syihab al- Zuhri, Muhammad ibn Hazm dan Al- Ramahurmuzi.[4]
1.      ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz
Dia adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz ibn Marwan ibn al- Hakam ibn Abi al-‘Ash ibn Umayyah ibn ‘Abd Syams al-Quraisy al-Umawi Abu  Hafsh al- Madani al- Dimasyqi, Amir al-Mu’minin. Ibunya adalah Umm ‘Ashim binti ‘Ashim ibn ‘Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian dia adalah cucu dari ‘Umar ibn Khattab dari garis keturunan ibunya.[5]

‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz adalah seorang khalifah yang mempunyai perhatian cukup besar terhadap Hadis Nabi SAW.  Beliau secara langsung menuliskan Hadis-Hadis Nabi yang didengar dan dimintanya. 

Diriwayatkan  dari Abi Qilabah, dia mengatakan “ ‘Umar abd al-Aziz keluar kepada kami untuk menunaikan shalat zuhur, lalu dia membawa kertas, dan dia keluar lagi pada shalat ‘asar dan besertanya pula kertas, lantas aku bertanya, “ya Amir  al-Mu’minin untuk apa kertas ini ?” Dia menjawab , “Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Awn ibn ‘Abd Allah menarik perhatianku, maka aku menuliskannya.[6]

Riwayat di atas menujukkan bahwa khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz  sangat peduli dengan Hadis-Hadis nabi SAW. Dan adapun alasan beliau atau motif beliau dalam pengkodifikasian hadis dan ilmu hadis ini antara lain adalah :



a.      Adanya kekhawatiran akan hilang atau punahnya Hadis
Berdasarkan beberapa riwayat, bahwa kekhawatiran akan hilangnya Hadis dan lenyapnya para Ulama Hadis merupakan faktor utama yang menyebabkan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz untuk melakukan kodifikasi Hadis. Para sahabat yang pada dirinya ada Hadis, banyak yang sudah berpencar ke berbagai daerah. Bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara Hadis-Hadis yang ada di dada mereka belum tentu semuanya sudah dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan Hadis.[7]

b.      Timbulnya Hadis Maudu’
faktor lain yang mendukung agar dilakukannya pengkodifikasian Hadis adalah karena timbulnya Hadis maudu’ sebagai akibat meluasnya wilayah Islam dan terjadinya perselisihan di kalangan kaum muslimin mendorong Khalifah untuk menghimpun dan membukukan Hadis. Terjadinya perang Shiffin pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib menyebabkan timbulnya aliran-aliaran dalam Islam. Ketegangan-ketegangan politik dan teologi membawa dampak negatif kepada eksistensi dan audentisitas  Hadis Nabi dengan munculnya Hadis-Hadis maudu’.[8]

c.       Al–Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampurnya antara ayat Al-Qur’an  dengan Hadis.

d.       Peperangan dalam penaklukan negeri-negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan Ulama Hadis berkurang karena wafat dalam peperangan – peperangan tersebut.[9]

Dalam proses pengokdifikasian Hadis dan Ilmu Hadis, khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz mengintruksikan kepada pada Ulama dan penduduk Madinah untuk memperhatikan dan memelihara Hadis, dengan mengatakan : “Perhatikanlah Hadis-Hadis Nabi dan tuliskanlah, karena aku mengkhwatirkan lenyap dan perginya para ahlinya. Dan intruksinya kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn ‘Amr ibn hazm, gubernurnya di Madinah adalah, “Tuliskanlah untukku seluruh Hadis Rasul SAW yang ada padamu dan pada ‘Amrah, karena aku mengkhawatirkan hilangnya Hadis-Hadis tersebut. Khalifah Umar juga memerintahkan Ibn Syihab al-Zuhri dan Ulama lainnya untuk mengumpulkan Hadis Nabi SAW.[10]
Selain perintah untuk mengumpulkan Hadis, khalifah ‘Umar juga mengirim surat kepada  para penguasa daerah-daerah agar mendorong para Ulama setempat untuk mengajarkan dan menghidupkan Sunnah Nabi SAW. Bahkan ia sendiri langsung terlibat dalam mendiskusikan Hadis-Hadis yang telah di kumpulkan oleh para Ulama.[11]

Walaupun masa kekhalifahan beliau relatif singkat, namun beliau telah mempergunakannya secara maksimal untuk pemeliharaan Hadis-Hadis Nabi SAW, yaitu dengan mengeluarkan perintah secara resmi untuk pengumpulan dan pembukuan Hadis. Atas perintah beliau dan bantuan para Ulama serta Ahli Hadis, sehingga pada masa itu telah berhasil di kumpulkan dan di bukukannya Hadis-Hadis Nabi. Yang satu di antaranya adalah koleksi  Hadis yang di hasilkan oleh Ibn Syihab al-Zuhri, ia berkata:

“‘Umar ibn 'Abd al-‘Aziz telah memerintahkan kepada kami untuk mengumpulkan Sunnah Nabi SAW, maka kami pun menuliskannya dalam beberapa buku. Dia selanjutnya mengirim masing-masing satu buku kepada setiap penguasa di daerah.”[12]

Dari pernyataan Ibn Syihab al-Zuhri tersebut dapat kita ketahui bahwa khalifah  ‘Umar ibn 'Abd al-‘Aziz sangat berperan penting dalam pengkodifikasian Hadis dan Ilmu Hadis pada masa itu. Melelui kebijaka-kebijakan yang ia lakukan pada masa pemerintahannya.

Selain dari pada itu, meskipun  ‘Umar ibn 'Abd al-‘Aziz seorang khalifah, ia juga merupakan seorang perawi Hadis. Beliau menerima Hadis dari Anas, Al-Sa’ib ibn Yazid, ‘Abd Allah ibn ja’far, Yusuf ibn ‘Abd Allah ibn Salam, Khaulah binti Hakim dan lain-lain. Sementara darinya telah meriwayatkan sejumlah perawi, seperti Abu Salamah ibn ‘Abd al-Rahman dan kedua anaknya yakni ‘Abd Allah dan ‘Abd al-‘Aziz, saudaranya yakni Zuban ibn ‘Abd al-Azziz, anak pamannya yakni Maslamah ibn ‘Abd  al-Malik ibn Marwan, Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, Al-Zuhri, ‘Anbasah ibn Sa’id ibn al-‘Ash, dan lain-lain.[13]

2.      Muhammad  ibn Syihab al-Zuhri
Dia adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaid Allah ibn Syihab ibn ‘Abd Allah al-Harits ibn Zuhrah ibn Kilab ibn Murrah al Quraisy al-Zuhri al-Madani. Lahir pada tahun 50 H, dan ada yang menyebutkan tahun 51 H, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah ibn ‘Abi Sufyan.[14]

Al-Zuhri di kenal sebagai Ulama yang setia dan teguh hafalannya. Dia dapat menghafal Al-Qur’an hanya dalam masa 80 hari. Tentang kesetiaan dan kuatnya hafalan Al-Zuhri ini, dapat dilihat pada suatu hari Hisyam ibn ‘Abd al-Malik memintanya untuk mendiktekan sejumlah Hadis untuk anaknya. Lantas Al-Zuhri memintanya untuk menghadirkan seorang juru tulis dan kemudian mendiktekan 400 Hadis. Setelah berlalu lebih sebulan, Al-Zuhri bertemu lagi dengan Hisyam. Ketika itu Hisyam berkata kepadanya bahwa kitab yang berisikan 400 Hadis itu telah hilang. Al-Zuhri pun menjawab, “Engkau tidak akan kehilangan Hadis-Hadis itu,” kemudian ia meminta  juru tulis kembali, lalu dia mendiktekan kembali Hadis-Hadis tersebut. Dan setelah itu Al-Zuhri menyerahkannya kepada Hisyam dan isi dari kitab tersebut satu huruf pun tidak berubah dari isi kitab yang pertama.[15]

Dari riwayat tersebut dapat kita nyatakan bahwa benarlah bahwa Al-Zuhri adalah orang yang memiliki daya hafal yang kuat, dan senantiasa setia dalam mengajarkan apa yang ada padanya, seperti Ilmu yang dimilikinya pada umumnya dan Hadis-Hadis yang dia hafal pada khususnya.

Dengan modal kecerdasan dan kekuatan hafalan yang dia miliki tersebut, Al-Zuhri dapat menguasai banyak ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang Hadis. Sebagai seorang Ulama yang memiliki perbendaharaan Ilmu yang banyak, Al-Zuhri terkenal di kalangan pendududk Hizaz dan Syam (Syiria). Imam Malik pernah berkata, “ Apabila Al-Zuhri memasuki kota Madinah, tidak seorang pun dari para Ulama di Madinah pada saat itu yang berani menyampaikan Hadis, hingga Al-Zuhri keluar dari Madinah; dan apabila Ulama senior yang telah berusia 70 atau 80 tahun datang ke Madinah, orang-orang yang tidak begitu antusias untuk mendapatkan ilmu dari mereka; akan tetapi, apabila yang datang adalah Al-Zuhri, maka penduduk pun akan berduyun-duyun datang kepadanya untuk meminta ilmu.” ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz juga pernah bertanya kepada orang-orang di sekitarnya, “Apakah kalian telah mendatangi Ibn Syihab?” Mereka menjawab, “ Kami akan lakukan.” Lantas ‘Umar mengatakan lebih lanjut, “ Datanglah kalian kepadanya, maka sesungguhnya tidak ada lagi seseorang yang lebih mengetahui mengenai Sunnah selain dari padanya.”[16]

Al-Zuhi telah meninggalkan pengaruh dan jasa-jasa yang besar dalam bidang Hadis, diantaranya adalah:
1.      A-Zuhri adalah orang yang pertama memenuhi himbauan dari Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz untuk membukukan Hadis.
2.      Al-Zuhri telah berhasil mengumpulkan dan meriwayatkan sejumlah tertentu dari Hadis Nabi SAW yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang lain, sehingga hal itu telah menyelamatkan Hadis-Hadis beliau dari kepunahan.
3.      Al-Zuhri adalah orang yang bersemangat dalam menjaga sanad Hadis, sehingga dia senantiasa mendorong dan menggalakkan pembuatan sanad tatkala meriwayatkan Hadis kepada para Ulama dan penuntut Hadis.
4.      Al-Zuhri telah memberikan perhatian yang besar dalam pengkajian dan penuntutan Ilmu Hadis, bahkan ia bersedia memberikan  bantuan materi terhadap mereka yang berkeinginan mempelajari Hadis, namun tidak mempunyai dana untuk itu.[17]
3.      Muhammad ibn Hazm
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar ibn Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm al-Anshari  al-Khajraji al-Najjari al-Madani al-Qadhi. Dia adalah seorang Ulama besar dalam bidang Hadis dan terkenal juga ahli dalam bidang fiqih pada masanya. Imam Malik ibn Anas mengatakan, “ Saya tidak melihat seorang Ulama yang seperti  Abu Bakar ibn Hazm, yaitu seorang yang sangat mulia muru’ahnya dan sempurna sifatnya, dia memerintah di Madinah dan menjadi hakim (qadhi). Tidak ada kaum kami yang menguasai Ilmu Al-Qadha’ ( mengenai kepribadian) seperti yang dimilikiya.[18]

Dalam kedudukannya sebagai Gubernur Madinah dan sekaligus sebagi Ulama Hadis, dia pernah diminta oleh khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz untuk menuliskan Hadis-Hadis Nabi SAW yang ada padanya dan yang ada pada ‘Umrah binti ‘Abd al-Rahman, serta Al-Qasim ibn Muhammad dan Ibn Hazm lantas menuliskannya. ‘Umrah yang merupakan makcik dari Ibn Hazm sendiri, pernah tinggal bersama ‘Aisyah dan dia adalah orang yang paling dipercaya di kalangan Tabi’in dalam hal Hadis ‘Aisyah. Sebagai Ulama besar, dia juga merupakan guru dari beberapa Imam besar yang terkenal dalam sejarah  Hadis dan Fiqih. Diantara para muridnya adalah Al-Auza’I, Malik, Al-Laits dan Ibn Ishaq.[19]

4.      Al-Ramahurmuzi
Namanya adalah Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn Khallad al-Ramahurmuzi. Dia adalah seorang Ulama besar dan terkemuka dalam bidang Hadis pada zamannya, dan beberapa karyanya muncul seiring dengan kebesarannya dalam bidang Hadis tersebut. Al-Sami’ani berkata, “Dia (Al-Ramahurmuzi) adalah orang yang terkemuka dan banyak perbendaharaannya dalam bidang Hadis.”
Muhammad ibn Ishaq juga memberikan komentar, dengan mengatakan, “Abu Muhammad al-Hasan adalah seorang yang qadhi, karya tulisnya bagus dan gambling, bahkan menurut Ibn Siwar al-Katib, dia juga seorang ahli syi’ir (sya’ir).
Kemudian dari segi kualitas pribadinya, dia adalah seorang yang hafiz, tsiqat, ma’mun dan dari kesan-kesan, pengalaman dan peninggalan karya ilmiahnya, dapat disimpulkan bahwa dia adalah seorang yang terpelihara muru’ah-nya, mulia akhlaknya dan bagus kepribadiannya.[20]

Pada abad keempat Hijriah, tatkala Ilmu-Ilmu keIslaman mengalami kematangan dan memiliki istilah-istilah sendiri, yang diantaranya bidang Ilmu Mushatalah al-Hadits. Dan dalam bidang Mushatalah al-Hadis ini, yang pertama kali menulisnya adalah Al-Ramahurmuzi dengan judul Al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-Wa’i. Kitab ini dipandang sebagai kitab yang pertama kali dalam bidang Ilmu Ushul al-Hadits (Musthalah al-Hadits). Menurut Ibn Hajar, kitab ini belum mencakup semua permasalahan dalam bidang Ushul Hadits. Meskipun demikian, dibandingkan dengan kitab-kitab terdahulu yang membahas permasalahan-permasalahan tertentu dalam bidang Ushul al-Hadits secara terpisah, maka kitab ini merupakan kitab yang lebih lengkap untuk ukuran masanya. Imam al-Dzahabi juga menegaskan bahwa, “Kitab al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-Wa’i, dalam bidang Ushul al-Hadits adalah yang terbaik pada zamannya.[21]
Selain kitab yang tersebut diatas, Al-Ramahurmuzi juga menulis sejumlah kitab, yang diantaranya: Adab al-Muwa’id, Adab al-Nathiq, Imam al-Tanzil fi al-qur’an al-Karim, Amtsal al-Nabi SAW, Al-‘Ilal fi Muktar al-Akhbar dan lain-lain.[22]
















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari pembahasan-pembahasan mengenai pengkodifikasian Hadis dan Ilmu Hadis diatas dapat di simpulkan bahwa, “Pengkodifikasian Hadis dan Ilmu Hadis dipelopori oleh empat orang Ulama, yaitu ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, Muhammad ibn syihab al-Zuhri, Muhammad ibn Hazm dan Al-Ramahurmuzi. Yang disertai dengan bermacam-macam usaha, baik itu berupa perintah, penulisan Hadis-Hadis, pengajaran, penghafalan, menjadi periwayat ataupun perawi Hadis dan bahkan penulisan buku tentang Hadis. Semuanya dilakukan hanya untuk menjaga kelestarian Hadis yang merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.













DAFTAR PUSTAKA
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001
Abdul Wahid, Ramli. Studi Ilmu Hadis . Bandung: Ciptapustaka  Media,2005
http://www,kosmaext2010.com/makalah-ulumul-hadis-sejarah-pentadwinan-hadits.php




[1] http://www,kosmaext2010.com/makalah -ulumul-hadis-sejarah-pentadwinan-hadits.php
[2] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis ( Jakarta: PT, Mutiara Sumber Widya, 2001), hal. 31.
[3] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis ( Jakarta: PT, Mutiara Sumber Widya, 2001), hal.1.
[4] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, hal. 457.
[5] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal. 457
[6] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal. 458
[7] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung:Ciptapustaka  Media,2005), hal.104.
[8] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, hal.104.
[9] http://www,kosmaext2010.com/makalah-ulumul-hadis-sejarah-pentadwinan-hadits.php

[10] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal. 459.
[11] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal. 459-460.
[12] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal. 460.
[13] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal. 461.
[14] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal. 462.
[15] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal. 463-464.

[16] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal.464.
[17] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal.466.
[18] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal.468.
[19] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal.469.
[20] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal.470.
[21] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal.472.
[22] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, hal.472.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar