"Putusan Hakim"
Hukum Acara Perdata
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hukum acara Perdata adalah
rangkaian-rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu
harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
Hukum Perdata. Putusan Hakim merupakan bagian dari Hukum Acara Perdata yang
meliputi arti putusan Hakim, susunan, macam-macam dan putusan oleh karena itu
penulis merasa tertarik untuk membahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa tujuan dari keputusan Hakim?
b.
Apakah keadilan merupakan tujuan
Hakim?
c.
Apakah yang harus di penuhi di dalam
memutuskan?
C.
Tujuan penulisan makalah
Dari
pembuktian yang tidak akurat akan lahir ketidak adilan. Untuk melaksanakan
perintah mewujudkan keadilan tersebut diperlukan pembuktian yang akurat, maka
para Hakim harus melakukan pembuktian yang akurat itu dengan menghimpun
sebanyak mungkin alat bukti agar vonis bersalah atau tidak bersalah yang
dijatuhkan kepada pihak yang sedang di adili benar-benar memenuhi kualifikasi
adil.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Putusan Hakim
Putusan Hakim adalah
suatu pernyataan oleh Hakim sebagai pejabat Negara yang di beri wewenang untuk
itu di ucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri suatu perkara atau
sengketa antara para pihak. Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses
mengajukan gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik
tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupu
oleh tergugat selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang
ingin dikemukakan, maka Hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara
tersebut. [1]
Putusan Pengadilan
merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang
berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab
dengan putusan Pengadilan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan
adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi. Untuk
memberikan putusan Pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan
mencerminkan keadilan Hakim sebagai aparatur negara dan sebagai wakil Tuhan
yang melaksanakan peradilan harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan
peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam
perundang-undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.
Arti putusan Hakim adalah
suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang
untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak. Bukan hanya yang
diucapkan saja tetapi juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan
diucapkan oleh Hakim di muka sidang karena jabatan ketika bermusyawarah Hakim wajib
mencukupkan semua alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah
pihak. Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan. Hakim menjatuhkan putusan
atas ha-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih dari yang digugat. Bentuk
penyelesaian perkara dibedakan atas dua yaitu:
1.Putusan/vonis
2.Penetapan / beschikking
1.Putusan/vonis
2.Penetapan / beschikking
Suatu putusan diambil untuk suatu perselisihan
atau sengketa sedangkan suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu
permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan yuridiksi voluntain[2]. Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim dalam menentukan
putusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Hakim harus dapat mengolah dan
memproses data-data yang diperoleh selama proses persidangan dalam hal ini
bukti- bukti, keterangan saksi, pembelaan terdakwa, serta tuntutan jaksa maupun
muatan psikologis. Keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa dapat
didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan
bersifat obyektif. Meskipun sistem hukum terkadang tidak dapat mencapai
keadilan yang sempurna, namun hakim harus dapat menetapkan keputusan yang
mendekati keadilan.
Di
negara demokrasi, yang terpenting perselisihan diatasi dengan cara yang tampak
adil dan mendukung stabilitas sosial. Pada kenyataannya ada saja yang mungkin
tidak setuju dengan keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan, namun masyarakat
harus percaya pada keadilan sistem hukum secara keseluruhan. Tujuan Penelitian
ini untuk mengetahui bagaimana proses pengambilan keputusan hakim dalam perkara
pidana dan faktor-faktor yang mempengaruhi suatu keputusan pengadilan.
Pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah bagaimana proses pengambilan
keputusan seorang hakim dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan
keputusan seorang hakim. Fokus gejala dalam penelitian ini adalah mengenai
proses pengambilan keputusan hakim. Subjek dalam penelitian ini adalah empat
orang hakim pengadilan negeri kota mungkid yang telah memenuhi karakteristik
penelitian. Metode yang digunakan metode penelitian kualitatif, alat
pengumpulan data menggunakan metode observasi dan interview serta biodata diri.
Berdasarkan penelitian diperoleh hasil, proses pengambilan keputusan hakim
(putusan) perkara pidana harus berdasarkan Hukum Acara Pidana.
Proses
pemikiran hakim melalui tahap intelegensia, tahap desain dan tahap pemilihan.
Faktor yang dapat mempengaruhi suatu putusan adalah faktor internal diantaranya
usia, keterampilan berkomunikasi, pengetahuan hakim, ketajaman intuisi,
intelegensi, kemampuan mengungkap fakta, ketangkasan mengungkap fakta,
menguasai norma hukum, rasa keadilan bagi masyarakat, keluarga, korban dan
terdakwa, ketajaman mengaitkan fakta dan norma dan pengalaman. Faktor eksternal
berupa tekanan sosial seperti tekanan dari pejabat, diberi uang, akan ditembak,
pendidikan, pelatihan, hal yang memberatkan dan meringankan. Faktor lain yang
berpengaruh yaitu faktor religiusitas, alat bukti, keyakinan, undangundang,
fakta, rasa keadilan serta disparitas putusan.
B.
Macam-macam Putusan
Hakim
1.
Putusan akhir
Ialah suatu
putusan dalam peradilan untuk mengakhiri suatu perkara, dan putusan ini ada
bersifat menghukum (condimnatoir) dan bersifat menciptakan (constitutip)
dan ada pula bersifat menyatakan (declaratoir).
2.
Putusan comdemnatior
Ialah suatu
putusan yang bersifat menghukum pihak yang di kalahkan untuk memenuhi prestasi,
di dalam putusan ini di akui hak penggugat atas prestasi yang di tuntutnya.
Pada umumnya putusan ini bersifat membayar artinya putusan itu untuk memenuhi
prestasi.
3.
Putusan constitutif
Suatu putusan
yang membuat dan meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya
pemutusan perkawinan, perwalian, pemutusan perjanjian dan sebagainya.
4.
Putusan
declaratoir
Ialah suatu
putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya
anak yang lahir dari pernikahan yang sah, hukum
declaratoir murni tidak mempunyai atau upaya untuk memakasa karena sudah
mempunyai hakibat hukum tanpa bantuan dari pihak lawanpun yang di kalahkan
untuk melaksanakannya, sehingga hanyalah memiliki kekuatan yang mengikat.
C.
Asas
Putusan Hakim
Asas
ini di jelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RGB, dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun
2004 (dulu dalam Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman)
yang meliputi :
1.
Memuat
dasar alasan yang jelas dan rinci
Menurut asas
ini putusan yamg dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan
terperinci. Alasan-alasan hukum yang menjadi pertimbangan bertitik tolak dari
ketentuan:
-
Pasal-pasal
tertentu peraturan perundang-undangan
-
Hukum
kebiasaan
-
Yurisprudensi
atau
-
Doktrin
hukum
hal ini di
jelaskan dalam Pasal 23 UU No.14 tahun 1970, sebagaimana di ubah dengan UU No
35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004.
2.
Wajib
mengadili seluruh bagian gugatan
Hal ini di
gariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG, dan Pasal 50 Rv.
Tidak boleh hanya memeriksa dan memutuskan sebagian saja.
3.
Tidak
boleh mengabulkan melebihi tuntutan
Larangan ini di
sebut ultra petitum partium[3].
Hakim yang mengabulkan melbihi posiya maupun petitum gugat, di anggap telah
melampui batas wewenang atau ultra vires yakni beritndak melampui
wewenangnya.
4.
Diucapakan
di muka umum
Hal ini di atur
dalam prinsip pemeriksaan dan putusan diucapakan secara terbuka, ditegaskan dalam
Pasal 18 UU No.14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU No. 35 tahun 1999
skarang dalam Pasal 20 UU No. 4 tahun 2004 yang berbunyi: Semua putusan
Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapakan dalam
sidang terbuka untuk umum.
D.
Upaya kekuatan Hukum terhadap Putusan Hakim
Putusan
hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bukan mustahil mempunyai
sifat memihak, oleh karena itu untuk menghindari apabila terjadi kekeliruan
atau Hakim bersifat memihak maka perlu memiliki upaya hukum yaitu alat untuk
mencegah atau kekeliruan dalam suatu putusan.
1.
Perlawanan
(verzet)
Dalam pasal 129
HIR ayat 1 yaitu tergugat yang di hukum sedang ia tidak hadir dan ia tidak
menerima putusan itu, maka dapat memajukan perlawanan atau putusan itu. artinya
Perlawanan (verzel) merupakan upaya hukum terhadap putusan yang di jatuhkan di
luar hadirnya tergugat. Yaitu upaya hukum
terhadap putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek).
Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak Tergugat yang dikalahkan.
Bagi Penggugat, terhadap putusan verstek ini dapat mengajukan banding.
2.
Banding
Yaitu pengajuan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan
pemeriksaan ulangan, apabila para pihak tidak puas terhadap putusan tingkat
pertama. Berpedoman kepada ketentuan yang ditetapkan dalam UU No 20 Tahun 1947
tentang peradilan ulangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 sampai Pasal
15, dinyatakan :
Tenggang waktu permohonan banding :
Tenggang waktu permohonan banding :
a. 14 hari sejak putusan diucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak
Pemohon banding hadir sendiri dipersidangan.
b. 14 hari sejak putusan diberitahukan, apabila Pemohon banding tidak hadir
pada saat putusan diucapkan di persidangan.
c. Jika perkara prodeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan
prodeo dari Pengadilan Tinggi kepada Pemohon banding.
d. Pengajuan permohonan banding disampaikan kepada Panitera pengadilan yang
memutus perkara di tingkat pertama
e. Penyampaian memori banding adalah hak, bukan kewajiban hukum bagi Pemohon
banding.
f. Satu bulan sejak dari tanggal permohonan banding, berkas perkara harus
sudah dikirim ke Panitera Pengadilan Tinggi Agama (Pasal 11 ayat (2) UU No 20
Tahun 1947).
3.
Kasasi
Pemeriksaan tingkat kasasi bukan pengadilan tingkat ketiga. Kewenangannya
memeriksa dan mengadili perkara tidak meliputi seluruh perkara, bersifat sangat
terbatas, dan hanya meliputi hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 30 UU No 14
Tahun 1985, yaitu terbatas sepanjang mengenai , Memeriksa dan memutus tentang
tidak berwenang atau melampaui batas wewenang Pengadilan tingkat bawah dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara. Memeriksa dan mengadili kesalahan
penerapan atas pelanggaran hukum yang dilakukan pengadilan bawahan dalam
memeriksa dan memutus perkara. Memeriksa dan mengadili kelalaian tentang
syarat-syarat yang wajib dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Tingkat kasasi tidak berwenang memeriksa seluruh perkara seperti
kewenangan yang dimiliki peradilan tingkat pertama dan tingkat banding, oleh
karenanya peradilan tingkat kasasi tidak termasuk judex facti[4].
E.
Kekuatan Putusan Hakim
Pasal 1917 dan 1918
KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh
kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14 / 1970 adanya putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Macam-macam putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu:
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Macam-macam putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu:
1.
Kekuatan pembuktian mengikat
Putusan ini sebagai
dokumen yang merupakan suatu akta otentik menurut pengertian Undang-Undang
sehingga tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat antara pihak yang
berperkara, tetapi membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak
yang disebut dalam putusan itu.
2.
Putusan eksekutorial
Yaitu kekuatannya untuk
dapat dipaksakan dengan bantuan aparat keamanan terhadap pihak yang tidak
menantinya dengan sukarela.
3.
Kekuatan mengajukan
eksepsi (tangkisan)
Yaitu kekuatan untuk
menangkis suatu gugatan baru mengenai hal yag sudah pernah diputus atau
mengenai hal-hal yang sama berdasarkan asas nebis inidem (tidak boleh
dijatuhkan putusan lagi dalam perkara yang sama).
F.
Susunan
dan Isi Putusan Hakim
Putusan hakim terdiri dari:
1.
Kepala putusan
Suatu putusan
haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi“Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) UU No. 14 / 1970 kepala
putusan ini memberi kekuatan eksektorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan
maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut[5].
2.
Identitas pihak yang
berperkara.
Didalam putusan harus dimuat identitas dari pihak: nama, alamat,
pekerjaan dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan
kepada orang lain.
3.
Pertimbangan atau alasan-alasan.
Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua bagian
yaitu pertimbangan tentang duduk perkara
dan pertimbangan tentang hukumnya. Pasal 184 HIR/195 RBG/23 UU
No 14/1970 menentukan bahwa setiap putusan dalam perkara perdata harus memuat
ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas, alasan dan dasar putusan,
pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta
hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan. Putusan yang
kurang cukup pertimbangan merupakan alasan untuk kasasi dan putusan harus
dibatalkan, MA tanggal 22 Juli 1970 No. 638 K / SIP / 1969; MA
tanggal 16 Desember 1970 No. 492 / K / SIP / 1970. Putusan yang
didasarkan atau pertimbangan yang menyipang dari dasar gugatan harus dibatalkan
MA tanggal 01 September 1971 No 372 K / SIP / 1970.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hakim adalah suatu
pernyataan oleh hakim sebagai pejabat Negara yang di beri wewenang untuk itu di
ucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri suatu perkara atau
sengketa antara para pihak. Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses
mengajukan gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik
tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupu oleh
tergugat selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang
ingin dikemukakan, maka Hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara
tersebut.
Pemeriksaan tingkat
kasasi bukan pengadilan tingkat ketiga. Kewenangannya memeriksa dan mengadili
perkara tidak meliputi seluruh perkara, bersifat sangat terbatas, dan hanya
meliputi hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 30 UU No 14 Tahun 1985, yaitu
terbatas sepanjang mengenai , Memeriksa dan memutus tentang tidak berwenang
atau melampaui batas wewenang Pengadilan tingkat bawah dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara. Memeriksa dan mengadili kesalahan penerapan atas
pelanggaran hukum yang dilakukan pengadilan bawahan dalam memeriksa dan memutus
perkara. Memeriksa dan mengadili kelalaian tentang syarat-syarat yang wajib
dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tingkat kasasi
tidak berwenang memeriksa seluruh perkara seperti kewenangan yang dimiliki
peradilan tingkat pertama dan tingkat banding, oleh karenanya peradilan tingkat
kasasi tidak termasuk judex facti.
Putusan
hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bukan mustahil mempunyai
sifat memihak, oleh karena itu untuk menghindari apabila terjadi kekeliruan
atau Hakim bersifat memihak maka perlu memiliki upaya hukum yaitu alat untuk
mencegah atau kekeliruan dalam suatu putusan. Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14 /
1970 adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan
yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya
hukum .
Daftar Kepustakaan
Mertukosumo suedikno, hukum
acara perdata indonesia ( yogyakarta liberty 1999)
Muhammad, Abdulkadir hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung
Citra A Bakti 1992)
M.Yahya Harahap Hukum Acara Perdata ( Jakarta: Sinar Grafika
2005)
Subekti, Hukum Acara Perdata (Bandung Bina cipta 1977)
Frances Russell dan christine loche, English law and language
( london Cassel 1992)
[2] Subekti, Hukum Acara Perdata (Bandung Bina cipta 1977) h 122
[3] Frances Russell dan christine loche, English law and language (
london Cassel 1992) h 30
[4]Muhammad, Abdulkadir hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung
Citra A Bakti 1992) h 98
[5] M.Yahya Harahap Hukum Acara Perdata ( Jakarta: Sinar Grafika
2005) h 807
Tidak ada komentar:
Posting Komentar